Powered By Blogger

Jumat, 05 Agustus 2011

Makalah Organisasi Perpustakaan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan kemajuan dalam bidang teknologi informasi pada era informasi dan globalisasi sekarang ini, membawa implikasi yang menyeluruh pada bidang kehidupan, sosial, perdagangan, ekonomi, pendidikan, kebudayaan dan juga pada kehidupan organisasi profesi akan mengalami perubahan, terutama untuk menyahuti perkembangan tersebut.
Peran perpustakaan dan pustakawan, semakin bertambah penting untuk mewujudkan era informasi sehingga terjadi suatu yang sangat mendasar, seperti organisasi, alur kegiatan pekerjaan, keahlian, fungsi, proses pekerjaan. Selama ini relatif masih belum terlihat peran organisasi profesi pustakawan seperti Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) misalnya dalam upaya meningkatkan kuantitas dan kualitas peran kepustakawanan terlebih lagi peran IPI pada masyarakat.
Dalam sejarah perpustakaan, asal usul sebuah perpustakaan nasional jauh lebih tua daripada usia asosiasi pustakawan. Hal tersebut bukan saja terjadi di negara maju yang sudah mapan melainkan juga di negara berkembang, yang kebanyakan semula merupakan bekas negara jajahan. Sebagai contoh usia Library of Congress dapat ditelusuri ke koleksi Presiden Thomas Jefferson pada abad 18 sementara pustakawan Amerika yang dihasilkan oleh Lembaga Pendidikan (Columbia University) baru ada pada tahun 1876.
Di kawasan ASEAN seperti di Malaysia, Singapura, Philipina dan Thailand, titik awal keberadaan perpustakaan nasional jauh lebih mendahului keberadaan organisasi pustakawan. Organisasi pustakawan di ke-empat negara baru berdiri pada abad 20 sementara cikal bakal perpustakaan nasional sudah ada pada abad-19. Hal serupa juga terjadi di Indonesia sehingga topik Perpustakaan Nasional dan Ikatan Pustakawan Indonesia perlu dibahas secara terpisah.
Harapan para Pustakawan Indonesia menjadi sosok Pustakawan yang Ideal sebagaimana yang tertuang dalam rumusan Profil Pustakawan Indonesia masih perlu dipertanyakan. Hampir setiap Rapat Kerja dan Seminar Ilmiah masalah tersebut mencuat kepermukaan, bahkan penataan organisasi pun selalu menjadi isu utama. Para pengurus IPI baik dari tingkat Pusat, Daerah dan Cabang belum menunjukkan suatu kepengurusan yang solid, bagi penulis harapan sosok Pustakawan yang ideal rasanya  sulit sekali menjadi kenyataan.
Adanya wacana reformasi profesi pustakawan , lahirnya forum-forum mungkin saja  merupakan salah satu bentuk perwujudan rasa kecewa anggota IPI terhadap organisasinya ,  atau mungkin saja merupakan awal perjuangan menuju terciptanya Profil Pustakawan Indonesia yang kita cita-citakan bersama. Berlakumya Undang-Undang Otonomi  Daerah beserta perangkat hukum lainnya mudah-mudahan dapat dijadikan  modal awal bangkitnya IPI sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pendiri IPI.
Hal yang lain adalah dengan adanya Kiprah Pustakawan yang menulis lebih banyak tentang organisasi pustakawan sesuai dengan judul dan tujuan buku tersebut. Ada beberapa catatan yang perlu mengenai Kiprah Pustakawan adalah sebagai berikut :

1.         Uraian tentang sejarah Ikatan Pustakawan Indonesia cukup panjang, karena memang inilah tujuan buku Kiprah Pustakawan.
2.         Sumbangan pelaku dan saksi sejarah
Kiprah Pustakawan menguraikan pertemuan pendahuluan di Bandung yang merupakan awal pembentukan Kongres Pustakawan se-Indonesia di Ciawi tahun 1973.
Masalah Dalam Bibliografi, sebagai sebuah buku yang ditulis oleh 2 (dua) pustakawan senior seharusnya daftar kepustakaan yang dimuat pada halaman 476-480 haruslah komprehensif. Sebagai contoh entri pada Sulistyo-Basuki diberi tanda tanya padahal artikel tersebut dimuat secara lengkap pada Berita perpustakaan sekolah. Uraian serupa dimuat dalam buku Periodisasi Perpustakaan Indonesia. namun tidak dikutip dalam buku Kiprah Pustakawan.
Penulisan sejarah perpustakaan serta organisasi pustakawan di Indonesia harus dipisahkan karena keduanya memiliki titik tolak yang berbeda. Sungguhpun demikian, penulisan kedua lembaga harus menggunakan sebanyak-banyaknya dokumen primer, berupa dokumen tertulis (notulen, surat keputusan, laporan tahunan, dekrit dan sejenisnya) serta pelaku dan saksi sejarah masih hidup.
Organisasi ini penting karena merupakan motor penggerak kearah profesionalisne pustakawan. Padahal pada abad ke-17 dan 18 di Eropa Barat dan Amerika Utara tumbuh pesat berbagai perpustakaan nasional, pribadi, dan gereja. Pada pertumbuhan ini masih ditambah dengan munculnya berbagai tulisan tentang klasifikasi ilmu pengetahuan, inventarisasi koleksi perpustakaan, katalog perpustakaan serta bahan bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan organisasi perpustakaan serta pelaksanaan operasional perpustakaan. Namun semuanya itu belum menyentuh secara umum. Ketika perpustakaan umum mulai berdiri pada abad ke-19, mulailah timbul kesadaran perlunya sebuah organisasi yang memperjuangkan kepentingan tenaga yang aktif bekerja di perpustakaan. Kesadaran ini menumbuhkan kemunculan organisasi pustakawan . dalam penjelasan ini, kita akan membahas bagaimana perkembangan organisasi pustakawan di Indonesia dan di luar negeri yakni organisasi pustakwan di amerika serikat dan inggris, keduanya sangat berpengaruh besar terhadap perkembangan organisasi pustakawan di dunia ketiga.
B.     Rumusan masalah
Dari beberapa penjelasan di atas, penulis membatasi dua hal penting yang menjadi permasalahan dalam organisasi pustakawan itu sendiri.
a.    Bagaimanakah Kiprah Pustakawan IPI dalam berperan memajukan organisasi pustakawannya, agar benar-benar bermanfaat bagi anggotanya maupun bagi masyarakat luas?
b.    Seperti apakah organisasi pustakawan indonesia (IPI) dan luar negeri (American Library association (ALA).





BAB II
PEMBAHASAN
Hampir tidak setiap organisasi profesi berhasil dalam perjuangannya membela profesi yang bersangkutan. Untuk dapat mencapai keberhasilan organisasi profesi harus berusaha agar pekerjaan pustakawan diisi oleh tenaga yang berkualifikasi, yang penuh dengan ide profesionalisme serta haarus diakui oleh lembaga tempat pustakawan bekerja.
Pengorganisasian merupakan penyatuan langkah dari seluruh kegiatan yang akan dilaksanakan oleh elemen-elemen dalam suatu lembaga. Prosese pengorganisasian suatu perpustakaan akan berjalan dengan baik apabila memeliki sumber daya, sumber dana, prosedur, koordinasi dan pengarahan pada langkah-langkah tertentu. Oleh karena itu, diperlukan penyesuaian terus-menerus antar bagian dalam suatu organisasi. Suatu organisasi akan berjalan baik apabila terdapat prinsip-prinsip yang menjadi landasan geraknya. Prinsip-prinsip itu di antaranya adalah :
1.    perumusan tujuan, tujuan organisasi harus jelas dan diketahui oleh seluruh elemen yang terkait dalam organisasi itu.
2.    pembagian kerja, untuk mencapai efektivitas dan efisiensi, perlu adanya pembagian tugas yang jelas
3.    pembagian wewenang, dengan kekuasaan yang jelas pada masing-masing aggota / kelompok dalam suatu organisasi, maka dapat dihindarkan terjadinya benturan kepentingan dan tindakan
4.    kesatuan komando, tujuannya agar tidak terjadi kebingungan di tingkat pelaksana.
5.    koordinasi, merupakan proses pengintegrasian tujuan pada satuan-satuan yang terpisah dalam suatu lembaga untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien
Organisasi perpustakaan timbul karena adanya kebutuhan untuk mengumpulkan orang-orang dalam rangka pencapaian tujuan bersama melalui pembagian kerja. Pembagian kerja ini akan efektif apabila di dalam organisasi itu terdapat stuktur organisasi yang jelas, baik secara makro maupun mikro. Penyusunan struktur organisasi perpustakaan belum mampu merefleksikan spesialisasi bidang, standarisasi , tidak adanya koordinasi yang baik. Hal ini disebabkan oleh sistem penyusunan struktur organisasi yang menganut sistem top down, bersifat birokratis, dan kurang berorientasi pada visi dan misi perpustakaan. Perpustakaan sebagai lembaga informasi yang selalu berkembang dalam penyusunan struktur organisasinya perlu mengantisipasi faktor internal, eksternal, diferensiasi, dan kompleksitas.
Dari segi kelancaran tugas perpustakaan dipengaruhi oleh sejauh mana keberhasilan integrasi di antara unit-unit/bagian dalam organisasi itu sendiri. Oleh, karena itu, perlu diperhatikan adanya pengelompokan kegiatan-kegiatan dalam perpustakaan itu sendiri. Dalam sistem pengelompokan unit ini terdapat banyak sistem yang dapat dipilih perpustakaan, ada empat aspek yang perlu diperhatikan yaitu fungsi, produk (barang dan jasa), wilayah, dan pelayanan perpustakaan.
Kepustakawanan sebagai sebuah profesi memiliki arti kata pekerjaan atau sebutan sebuah pekerjaan, terutama pekerjaan yang memerlukan pendidikan dan latihan. Sebuah pekerjaan dapat dikatakan sebagai profesi apabila mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : pertama, adanya sebuah organisasi keahlian. Tenaga profesional berkumpul dalam sebuah organisasi yang teratur dan benar-benar mewakili kepentingan organisasi. Dalam dunia pustakawan, dikenal banyak organisasi pustakawan seperti American Library association (ALA) di Amerika, Library Association di Inggris serta Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) di Indonesia. Kedua, Terdapat pola pendidikan yang jelas Struktur pendidikan pustakawan harus jelas. Di luar negeri seperti ALA berhak menentukan kualifikasi pendidikan formal pustakawan dan berwenang menentukan akreditasi sekolah perpustakaan. Profesi didasarkan atas batang tubuh atau teknik yang dapat diajarkan. Hal ini berarti subjek tersebut dapat diperlukan sebagai sebuah disiplin akademis serta pekerjaan professional harus memiliki sifat intelektual. Ketiga, Adanya kode etik untuk mengatur hubungan antara tenaga profesional dengan nasabah atau rekanan diperlukan sebuah kode etik. Kode etik pustakawan lebih bersifat social dari pada bisnis. Empat, berorientasi pada jasa bidang tugas kepustakawanan hampir semuanya berorientasi pada jasa. Jasa pustakawan yang diberikan pada pemakai lebih ditekankan pada pemberian pelayanan dalam usaha pencarian dan penyebarluasan informasi dan jasa ini diberikan secara terus menerus. Lima, adanya tingkat kemandirian. Sebagai tenaga professional tenaga pustakawan harus mandiri dalam arti bebas dari campur tangan pihak luar.
Pemberdayaan peran organisasi profesi untuk meningkatkan peran organisasi profesi pustakawan terhadap anggotanya maupun terhadap masyarakat. Maka hal yang harus IPI adalah selalu memberdayakan segala kemampuan dan potensi yang dimiliki organisasinya, serta berperan aktif dalam ruang lingkup bidang kepustakawanan dan dalam masyarakat. Selama ini relatif masih belum kelihatan peran dan manfaat IPI baik bagi anggota terlebih-lebih lagi bagi masyarakat.
1.  Kiprah  IPI dan Kinerja Pustakawan
Dalam konteks organisasi profesi khususnya Profesi Pustakawan Indonesia (IPI), organisasi profesi yang baik adalah suatu organisasi profesi yang dapat menunjukkan dan mempunyai kapasitas untuk dapat berbagi pengalaman bersama ditandai dengan menjunjung tinggi moral dan etika profesi. Suatu profesi tidak akan berkembang, apabila kita tidak dapat menempatkan jati diri kita di tengah –tengah masyarakat yang cukup dinamis dalam era reformasi dewasa ini. Sungguh luar biasa  tantangan yang dihadapi oleh para pustakawan Indonesia saat ini.
Globalisasi ekonomi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk berkompetisi dan bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan ekonominya, dimana sumber daya alam menjadi faktor yang kurang penting dibandingkan dengan sumber daya manusia. Lokasi sumber daya alam juga tidak lagi menjadi masalah, tetapi kemampuan manusia untuk berinteraksi dengan lingkungannya menjadi faktor yang amat kritis. Disamping itu perkembangan ilmu dan teknologi telah memaksa bangsa-bangsa untuk mengandalkan penguasaan ilmu dan teknologi itu dapat memenangkan kompetisi  yang makin lama makin berat.
Lingkungan manusia berubah amat cepat pada abad ke-21. Beberapa kecenderungan abad ke-21 yang mempengaruhi kehidupan masyarakat, adalah kompetisi global, cepatnya produk-produk menjadi kuno (obsolescence), kecenderungan meningkatkan efisiensi dengan perampingan organisasi, perekayasaan kembali dunia usaha, pemberdayaan serta perbaikan kualitas semua proses dan produk di segala bidang yang dilakukan secara terus menerus, internasionalisasi perdagangan, berkembangnya masyarakat informasi (information society), serta perkembangan ilmu dan teknologi yang amat hebat. Toffler (1972) yang dikutip Sutjipto (2000) telah mengidentifikasi gejala itu sejak tahun 1970-an dan menyebut gejala itu dengan “ culture shock “.
Mencermati perubahan yang semakin dahsyat itu, organisasi profesi pustakawan Indonesia, hendaknya berupaya melakukan berbagai perbaikan dan pengembangan layanan terbaiknya bagi kepentingan masyarakat secara terencana dan berkesinambungan. Dengan demikian organisasi profesi ini tidak akan kehilangan arah baik dalam rangka pengambilan keputusan, maupun dalam rangka meningkatkan  mutu organisasi. Sudahkah pustakawan Indonesia mengantisipasi perkembangan dan menjembatani kearah tersebut? Bukankah modal untuk itu kita sama-sama memilikinya?.
Berangkat dari visi pustakawan diabad informasi, ada beberapa masalah pokok yang merupakan isu strategis yang perlu dicermati dan perlu mendapat perhatian kita semua , diantaranya :
a.    Bagaimana organisasi pustakawan Indonesia dapat sejajar dengan profesi lain?
b.    Sistem dan tatanan organisasi IPI yang bagaimanakah yang dapat memberikan peluang yang sama  bagi seluruh anggota dalam segala dimensinya menuju pemberdayaan anggota IPI secara utuh ? ( Setiarso, 1997).
c.    Apakah landasan filosofis variabel utama IPI = Organisasi Profesi Kepustakawan Indonesia yang ditawarkan Sudarsono (1997) telah dapat  dilaksanakan oleh seluruh anggota IPI ?
Selanjutnya mari kita renungkan apa yang telah dituangkan dalam Keputusan Lokakarya Pengembangan Kurikulum Pendidikan dan Latihan Perpustakaan di Indonesia yang dilaksanakan  tanggal 9 –11 Agustus 1994 di Aula the British Council, ada 2 Aspek Profil Pustakawan Indonesia ( Pustakawan Ideal) yang cukup menarik kita diskusikan dalam Rakerpus XI IPI pada hari ini :
1.    Aspek Profesional : Pustakawan Indonesia berpendidikan formal ilmu  perpustakaan. Pustakawan juga dituntut gemar membaca, trampil, kreatif, cerdas, tanggap, berwawasan luas, berorientasi ke depan, mampu menyerap ilmu lain, objektif (berorientasi pada data dan fakta), generalis di satu sisi, tetapi memerlukan disiplin ilmu tertentu di pihak lain, berwawasan lingkungan , mentaati etika profesi pustakawan, mempunyai motivasi tinggi, berkarya di bidang kepustakawan, dan mampu melaksanakan penelitian dan penyuluhan.
2.    Aspek kepribadian dan prilaku: Pustakawan Indonesia harus bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha esa, bermoral Pancasila, mempunyai tanggung jawab sosial dan kesetiakawanan, memiliki etos kerja yang tinggi, mandiri, loyalitas tinggi terhadap profesi, luwes, komunikatif, dan bersikap suka melayani, ramah tamah dan simpatik terbuka terhadap kritik dan saran, selalu siaga dan tanggap terhadap kemajuan dan perkembangan ilmu dan teknologi, berdisiplin tinggi, dan menjunjung tinggi etika pustakawan Indonesia. Kedua aspek tersebut sungguh luar biasa,  apabila persyaratan tersebut dapat dimiliki oleh para Pustakawan Indonesia.
Perjalanan sejarah wadah profesi pustakawan Indonesia hampir selama tiga dasa warsa, hendaknya menjadi bahan renungan kita bersama. Dan kini masyarakat menanti kiprah lebih nyata dari para Pustakawan Indonesia yang menyentuh ke segenap lapisan masyarakat Indonesia yang majemuk dan kritis. Pustakawan Indonesia dituntut agar lebih mandiri dalam segala hal,  gaung pustakawan … non jauh disana perlu kita dengar sebagai tuntutan otonomi daerah. Hasil rapat Koordinasi Tim Penilai Pejabat Fungsional pustakawan yang baru saja dilaksanakan tanggal 30 Oktober 2001 sudah mengisyaratkan ke arah itu. Mau tidak mau, suka tidak suka inilah kenyataan yang perlu dipertimbangkan dan didiskusikan pada hari ini.
Berbicara peningkatan profesionalisme di bidang profesi kepustakaawan adalah suatu “Conditio Sine Quanon” yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, apabila profesi pustakawan hendak sejajar dengan profesi lain. Profesi pustakawan dituntut untuk mampu bersikap lebih terbuka, suka kerja keras, suka melayani, mengutamakan pengabdian serta aspek-aspek kepribadian dan perilaku. Tuntutan hal tersebut,menurut hemat penulis itulah kata kunci yang sebenarnya yang perlu terus menerus diaplikasikan dalam menjajal otokritik.
Banyaknya kritik yang dilontarkan terhadap organisasi profesi pustakawan Indonesia (IPI), baik kritik dari internal, maupun eksternal organisasi, hal ini disebabkan antara lain pustakawan Indonesia kurang memahami jati dirinya. Menurut hemat penulis organisasi yang diharapkan adalah suatu organisasi yang setiap saat mengalami perubahan dalam arti yang positif, tidak selalu berada pada statusquo/ stagnansi. Perubahan sekecil apa pun harus dapat diterima sebagai sumbangsih dan pengabdian diri kita sebagai profesi. Perjalanan sejarah organisasi profesi Pustakawan Indonesia selama hampir tiga dasawarsa tidak sepenuhnya merupakan suatu kegagalan Kegagalan masa lalu dan sekarang mudah-mudahan dapat dijadikan sebagai modal utama menuju kesuksesan yang menjadi harapan kita semua, dan bukan suatu rintangan.
Paul J. Meyer pernah mengatakan” 90% orang-orang yang merasa gagal belum  tentu gagal… hanya saja mereka cepat menyerah”. Faktor terpenting yang menentukan keberhasilan suatu organisasi terletak bagaimana organisasi mengatasi kegagalan.  Dornan (1998) memberikan ilustrasi kata “gagal” dan keberhasilan . Kata gagal selalu berkonotasi negatif. Bukankah orang paling benci dengan kata ini? Coba saja, jika anda mendengar seseorang membicarakan tentang hal-hal yang bernada kegagalan dan keputusasaan, mau tidak mau kata tersebut akan berpengaruh buruk terhadap diri anda, misalnya kata –kata kemiskinan, tidak punya teman, tidak punya uang. Sebaliknya kata-kata yang berhubungan dengan “ keberhasilan” mempunyai konotasi positif karena mengandung harapan.
Lebih jauh Dornan menekankan ada beberapa hal yang menyebabkan orang takut akan kegagalan diantaranya:
·       takut dikritik
·       takut mengambil resiko
·       takut kehilangan percaya diri
·       takut tidak mendapat kesempatan lagi.
Atas dasar takut akan kegagalan Dornan memberikan solusi dalam mengatasi kegagalan sebagai berikut :
·       mengenali lebih dulu penyebab kegagalan
·       belajar dari kegagalan dengan mempelajari penyebabnya
·       kenali dulu kelemahan anda
·       ubah cara kerja anda sesuai kebutuhan
Organisasi profesi pustakawan Indonesia (IPI) baik dari tingkat pusat, daerah,dan cabang di mana pun berada, harus berani dikritik, berani mengambil resiko, tidak boleh takut kehilangan rasa percaya diri, tidak boleh takut tidak mendapat kesempatan lagi. Menurut hemat penulis pola kepemimpinan yang perlu diterapkan oleh Pengurus organisasi ini baik tingkat pusat, daerah dan cabang harus menunjukkan keberanian (courage)dalam menentukan aturan keanggotaan. Ternyata aturan anggaran rumahtangga PAPSI (Perhimpunan Ahli Perpustakaan Seluruh Indonesia) tahun 1954 lebih baik dari anggaran rumah tangga IPI tahun 1999 dalam hal menerapkan sangsi bagi anggota yang tidak membayar iuran anggota.  Dalam anggaran rumahtangga tersebut dinyatakan sebagai berikut:
  • Anggota yang diterima sebelum 30 Juni membayar iuran untuk setahun penuh, yang diterima sesudah 30 Juni membayar iuran (setengah tahun). Pembayaran dilakukan ketika diterima menjadi anggota.
  • Apabila seorang anggota menunggak iuran satu tahun, maka kepadanya akan dikirim surat peringatan, dan sebulan sesudah surat itu keluar pembayaran belum juga dilakukan,maka pengurus berhak mengeluarkannya dengan keputusan suara terbanyak.
  • Anggota yang menunggak iuran setahun, di dalam rapat tahunan tidak boleh memberi suara atau tidak boleh dipilih untuk suatu jabatan.
Sedangkan aturan semacam itu tidak ada dalam anggaran rumah tangga IPI tahun 1999. Bukankah Russel Bowden sewaktu menjadi konsultan IPI sering memberikan rekomendasi khususnya mengenai iuran anggota sebagai modal dasar organisasi.  Barangkali ini perlu dipertimbangkan dalam rapat kerja kali ini sebagai bahan masukan kongres IPI tahun 2002.  Beberapa rekomendasi program kerja dari komisi organisasi yang pernah dilontarkan oleh Blasius Sudarsono dan Bambang Setiarso sebenarnya cukup efektif untuk dilaksanakan sebagaimana dilontarkan dalam isu strategis pada pemaparan sebelumnya. Dalam konteks kemandirian organisasi (Hernandono,1997) mengungkapkan seebagai suatu organisasi profesi, IPI dirasakan oleh sebagian orang belum mandiri, keuangan IPI masih banyak tergantung pada subsidi dan bantuan instansi di bidang perpustakaan di Indonesia (Perpustakaan Nasional RI) dan Badan-badan lain, baik pemerintah maupun swasta. Disamping itu, keterlibatan para anggota IPI belum dapat dilaksanakan secara optimal.
Celakanya pustakawan masih sibuk mempertanyakan apa keuntungan menjadi anggota.   Bukankah kepercayaan yang kita emban dari anggota IPI juga amanah dari Tuhan?  Penulis juga sependapat apa yang diungkapkan  Zulfikar Zen dalam Marsela  terbitan terbarunya (juni 2001) dalam rangka kebersamaan , apakah kebersamaan yang kita buat akan berubah? Bukankah kalau bersatu, kita akan teguh? Marilah berat sama-sama kita pikul, meskipun kalau ringan masing-masing dapat membawanya sendiri-sendiri Insya Allah…! Himbauan tersebut mari kita refleksikan dalam organisasi yang kita cintai ini.
Ada beberapa keuntungan strategis bila IPI mengembangkan dirinya menjadi organisasi serikat pekerja, yaitu :
Pertama, organisasi akan mempunyai orientasi yang jelas, yakni meningkatkan kesejahteraan dan memperjuangkan kepentingan putawakan. Langkah ini akan menjauhkan kemungkinan menjadi organisasi papan nama, atau organisasi yang hanya dimiliki oleh pengurusnya, sebab serikat pekerja bisa menyentuh kepentingan semua anggota. Untuk mengubah diri sudah tidak banyak halangan, karena UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang baru jelas-jelas melindungi hak pekerja untuk berorganisasi. Kedua, karena kepentingan semua anggota tersentuh, maka organisasi IPI akan dengan mudah menggalang solidaritas para pustakawan. Implikasinya, hal ini akan memperkuat posisi tawar pustakawan di hadapan institusi/perusahaan, terutama dalam hal memperjuangakan kenaikan upah, fasilitas kerja dan peningkatan profesi. Ketiga, dengan mengembangkan diri menjadi serikat pekerja, IPI punya kesempatan luas untuk berafiliasi dengan organisasi sejenis di tingkat internasional. Afiliasi ini akan menguntungkan posisi organisasi dan pustakawan Indonesia, karena solidaritas pustakwan  internasional akan segera mengalir apabila pustakwan Indonesia mengahadapi masalah.
2.  Organisasi Pustakawan Indonesia
Perpustakaan modern yang pertama kali ada di Indonesia didirikan oleh orang belanda. Perpustakaan tersebut adalah perpustakaan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en wetenschap didirikan pada tahun 1778. Seabad kemudian di indonesia mulai berdiri berbagai perpustakaan khusus, menyusul pendirian perpustakaan sekolah dan perpustakaan umum oleh pihak swasta pada awal abad ke-20. awalnya perpustakaan sekolah tidak ada, yang ada hanyalah guru yang menaruh minat pada perpustakaan . beberapa guru di batavia (jakarta) menyadari perlunya organisasi pustakawan sebagai wadah komunikasi antara sesama anggota. Usaha pembentukan organisasi pustakawan mulai dirintis pada tahun 1912 dengan dilangsungkannya diskusi pustakawan di batavia. Namun, usaha itu baru membuahkam hasil pada tahun 1916 dengan terbentuknya Vereeniging Tot Bevordering Van Het Bibliotheekwezen di batavia. Tujuan organisasi itu dinyatakan pada pasal 3 berbunyi sebagai berikut:
1.    memajukan berdirinya perpustakaan baru dan membantu perpustakaan rakyat yang telah ada, baik yang bersifat ilmiah maupun umum.
2.    memajukan usaha sentralisasi perpustakaan
3.    mengusahakan peminjaman antar perpustakaan di hindia-belanda (Indonesia)
4.    memajukan lalu lintas pertukaran dan peminjaman bahan secara internasional
5.    mengumpulkan dan memajukan sumber dan tugas referens
6.    mendirikan biro penerangan untuk kepentingan ilmiah dan dokumentasi
7.    mendirikan gedung untuk perpustakaan umum
8.    segala usaha sah lainnya yang dapat membantu tercapainya tujuan di atas
Masa pendudukan jepang, organisasi itu sudah tidak lagi kegiatan pustakawannya. Pada tahun 1954 berdiri Perkumpulan Ahli Perpustakaan Seluruh Indonesia (PAPSI) yang mempunyai tujuan sbb :
1.    mempertinggi pengetahuan ilmu perpustakaan, berarti mempertinggi derajat para anggotanya
2.    mananam rasa cinta terhadap perpustakaan dan buku umum
Dan akhirnya pada tahun 1956 PAPSI berubah namanya menjadi Perhimpunan Ahli Perpustakaan, Arsip, Dan Dokumentasi (PAPADI), yang tujuannya adalah :
1.    mempertinggi pengetahuan tentang ilmu perpustakaan, arsip, dan dokumentasi, serta ilmu-ilmu lain yang berkaitan
2.    memperluas dan menanamkan pengertian terhadap perpustakaan, arsip, dan dokumentasi
3.    membela kepentingan dab mempertinggi derajat para anggotanya
Tahun 1962 nama organisasi diubah menjadi Asosiasi Perpustakaan, Arsip, Dan Dokumentasi (APADI) yang bertujuan untuk :
1.    mengusahakan agar tercapai kesempurnaan sistem dan isi perpustakaan, arsip, dan dokumentasi
2.    mempertinggi pengetahuan tentang ilmu perpustakaan, arsip, dan dokumentasi dan ilmu-ilmu yang bersangkutan
3.    memperluas dan menanam pengertian perpustakaan, arsip, dan dokumentasi
4.    mempertinggi derajat para anggotanya
Sementara pada tahun 1969 berdirilah Himpunan Pustakawan Chusus Indonesia (HPCI) dengan tujuan :
1.    membina perkembangan perpustakaan khusus di Indonesia
2.    memupuk hubungan antar anggota
Untuk menyatukan perhimpunan pustakawan, pada tahun 1973 dilangsungkan kongres pustakawan se-Indonesia di Ciawi. Hasilnya adalah pembentukan Organisasi Pustakawan Indonesia yang bernama Ikatan Pustakawan Indonesia yang disingkat IPI. Berdasarkan pasal 5 Anggaran Dasarnya, IPI bertujuan untuk :
1.    menghimpun, menampung, serta menyalurkan aspirasi dan kreasi dari mereka yang berpotensi dalam ilmu pengetahuan dan yang lainnya dan atau bekerja dalam bermacam-macam jenis perpustakaan atau badan-badan lainnya yang ruang lingkupnya berkaitan dengan perpustakaan
2.    mengusahakan mereka yang termasuk di atas pada tempat semestinya di dalam masyarakat.
3.    meningkatkan, mengembangkan, dan mengamalkan ilmu perpustakaan demi kemajuan pendidikan, ilmu pengetahuan, serta kesejahteraan masyarakat
4.    menempatkan ilmu perpustakaan dan ilmu pengetahuan lainnya pada taraf yang semestinya di antara ilmu pengetahuan.
3.  Organisasi IPI
IPI diketuai oleh seorang ketua umum dibantu oleh sekretaris umum dan komisi. Untuk kegiatan yang menyanngkut profesi dibentuk bagian yang disebut ”bidang”. Dalam IPI terdapat bidang sbb :
a.    organisasi
b.    perpustakaan khusus
c.    perpustakaan umum
d.   perpustakaan sekolah
e.    perpustakaan perguruan tinggi
Untuk membantu ketua umum melaksanakan program IPI dibentuklah sebuah komisi, komisi yang ada di IPI adalah :
a.    komisi usaha dan kesejahteraan
b. komisi penerbitan
c. komisi penelitian dan pengembangan
Prinsip-prinsip pokok pemberdayaan organisasi IPI meliputi :
- Penyempurnaan AD/ART sesuai dengan visi dan misi IPI ke depan.
- Penguasaan teknologi informasi ;
- Peningkatan kualitas anggota ;
- Pemberdayaan kemampuan anggota ;
- Pengembangan organisasi IPI yang lebih mandiri dan professional ;
- Pengembangan kader-kader organisasi secara berkesinambungan dan berjenjang ;
- Pembentukan organisasi atau kelompok-kelompok bidang minat atau interest group.
- Pengembangan media komunikasi anteraktif antara anggota dan pengurus.
Aspek lain yang harus diperhatikan adalah strategi pendekatan perencanaan program kerja IPI harus mencerminkan keseimbangan antara pendekatan pendidikan dan pemberdayaan anggota. Oleh karena itu program IPI harus benar-benar realistis dan benar-benar nyata manfaatnya baik bagi anggotanya maupun bagi masyarakat.
4.       Organisasi Pustakawan Luar Negeri
American Library Association (ALA) adalah sebuah organisasi pustakawan profesional yang didirikan pada tahun 1953 di New York. Pertemuannya dihadiri oleh para pustakawan, peneliti, ilmuan, dan pendeta, yang semuanya menyadari pentingnya pengetahuan tentang buku serta kesadaran bahwa pengelolaan buku perlu dilakukan demi kepentingan umum. Di sini mereka menekankan pentingnya adminitrasi dan organisasi perpustakaan. Mereka menyatakan bahwa perpustakaan memiliki cirri khusus dengan mengumpulkan, mengatur, dan mempromosikan penggunaan buku; juga diperlukan metode khusus untuk melaksanakan tugas tersebut. Jasa bagi pemakai merupakan motivasi utama serta tujuan primer perpustakaan. Juga mereka menekankan perlunya menyatu dalam sebuah himpunan.
Pada tahun ini, juga terbit majalah American Library Journal dengan “managing editornya” Melvill Dewey, pencipta Dewey Decimal Classification (DDC). Menurut anggaran dasar ALA, maka ALA bertujuan mempromosikan atau memajukan jasa perpustakaan dan kepustakawanan. Dalam bahasa inggris dikatakan ”to promote the library service and librarianship”. Untuk melaksanakan tujuan tersebut maka organisasi ALA terdiri atas :
1.    lima devisi jenis perpustakaan ; American Association Of School Librarians, American Association Of State Libraries, Association Of College And Research Libraries, Association Of Hospital And Institution Libraries, Dan Public Library Association
2.    sembilan devisi jenis aktivitas, yaitu Adult Service Devision, American Library Trustee Association, Children’s Services Decision, Reference Services Devision, Resources And Technical Services Devision, Young Adult Services Devision, Dan Information Science And Automation Devision
3.    lima puluh cabang negara bagian, regional, dan teritorial. Istilah yang digunakan adalah chapters mencakup semua Negara bagian, teritori seperti Guam dan Virgin Islands
4.    dua belas organisasi yang berafiliasi dengan ALA, seperti American Associations Of Law Libraries, American Society For Information Science, American Merchant Marine Library Association, American Theological Library Association, Association Of American Library Schools, Association Of Research Libraries Canadian Library Association, Library Society Of Puerto Rico, Medical Library Association, Dan Catholic Library Association.
Kegiatan ALA dilakukan oleh staf perpustakaan di bawah pengawasan direktur eksekutif. Direktur eksekutif melakukan kerjasama yang tidak terbatas pada dunia ALA tetapi juga dengan bidang lain berkaitan seperti American Book Publishers Council dan National Education Association. Semua aktivitas ALA diarahkan untuk mencapai objeknya yakni peningkatan jasa perpustakaan dan kepustakawanan. Semua kebijakan, program, dan kegiatan dilaksanakan dengan tujuan melayani kepentingan umum. Di samping kegiatan umum, ALA pun menyelenggarakan berbagai kegiatan untuk anggotanya. ALA menerbitkan majalah sebagai wahana komunikasi antara sesama anggota serta media untuk menyampaikan pendapat anggota; menerbitkan standar kesejahteraan anggota, jasa perpustakaan, pendidikan pustakawan, serta usaha meningkatkan status pustakawan dalam masyarakat; dan mendorong penerbit swasta menerbitkan majalah profesional kepustakawanan.















BAB IV
PENUTUP

A.   Kesimpulan
1.      Tuntutan profesionalisme yang diamanatkan oleh anggaran dasar dan anggaran rumah tangga  lebih-lebih tercermin dalam kode etik pustakawan sekalipun masih dipertanyakan hendaknya dijadikan aset yang cukup berharga sebagai suatu organisasi yang dituntut kemandiriannya.
2.      Persaingan global yang cukup kompetitif disegala bidang merupakan tantangan profesi kepustakawanan untuk dapat melakukan  terobosan yang lebih bermakna ketimbang memikirkan dan mempertajam perbedaan yang tak pernah terselesaikan bahkan lebih memunculkan permasalahan baru yang lebih rumit.
3.      Kunci keberhasilan  suatu organisasi akan banyak bergantung sejauh mana pengurus dan anggota dapat mengimplementasikan program kerjanya dengan terus menjunjung tinggi asas kebersamaan sesama anggota.  Pilar-pilar kegagalan dan keberhasilan suatu organisasi masa lalu dan sekarang hendaknya dapat dijadikan bahan renungan kita semua untuk melangkah lebih jauh. Bahkan perubahan sekecil apapun akan lebih baik, ketimbang  kita mempertahankan status quo.

B.   SARAN
Agar organisasi profesi dapat berperan semaksimal mungkin dalam upaya meningkatkan perannya baik bagi anggota maupun masyarakat, maka potensi organisasi dan anggota harus benar-benar diberdayakan seoptimal mungkin, dengan melihat celah-celah kesempatan yang ada untuk mencapai tujuan agar IPI dan ALA lebih berperan aktif dan keberadaannya bermanfaat bagi anggota dan masyarakat (regional maupun internasional). Oleh karena itu, kemandirian organisasi dan peran aktif anggota mutlak diperlukan dalam upaya memberdayakan anggota dan organisasi ke depan, disamping kesinambungan organisasi dan profesinalisme, juga diperlukan kesinambungan arah perencanaan program kerja makro dan mikro organisasi pustawakan yang ada di Indonesia dan di luar negeri.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar